Jumat, 08 November 2013

TUGAS SOFTSKILL KELOMPOK M-3



ANALISA KASUS PENYIMPANGAN KODE ETIK
TUGAS KELOMPOK MINGGU III

NAMA KELOMPOK:
SELVIA SARI (26210437)
VISCA FEBRINA (28210396)
RISKA NUARI (26210035)
NUR SUSILAWATI (29210584)
CITRA DIANA (21210608)

ANALISA KASUS PERBANKAN DI INDONESIA PADA KASUS MALINDA DEE, MANTAN SENIOR RELATION MANAGER CITIBANK
   Inong Malinda dee, mantan senior Relationship Manager Citibank diduga melakukan tindak pidana pencucian dana nasabah Citibank sebesar lebih dari Rp 16 milyar. Nasabah-nasabah yang ditangani Malinda biasanya adalah nasabah kelas kakap dengan dana lebih dari Rp 500 juta. Sedangkan bank-bank di Indonesia masih didominasi bukan oleh nasabah seperti itu. Motif pelaku adalah untuk memuaskan dan menyenangkan suami keduanya yaitu Andhika Gumilang.
   Modus Operasi yang dilakukan pelaku sebagai karyawan bank adalah dengan sengaja melakukan pengaburan transaksi dan pencatatan tidak benar terhadap beberapa slip transfer. Slip transfer digunakan untuk menarik dana pada rekening nasabah dan memindahkan dana milik nasabah tanpa seizin nasabah ke beberapa rekening yang dikuasai oleh pelaku. Pelaku mengalirkan hasil penggelapan dana nasabah Citibank ke 30 rekening. Total dana yang digelapkan pelaku diduga mencapai lebih dari Rp 16 milyar. Dana tersebut dibelanjakan barang mewah berupa mobil mewahnya seperti Hummer, Mercedes Benz dan Ferrari yang harganya di atas Rp1 miliar. Latar belakang Andhika yang pernah menjadi artis juga turut menarik perhatian seluruh media infotainment. Dan yang tak kalah menghebohkan adalah operasi pembesaran payudara yang dilakukan Malinda dibahas media dengan meminta tanggapan dokter bedah plastik hingga nyaris menenggelamkan substansi kasusnya.
Pembobolan simpanan nasabah kakap oleh Malinda selama kurang lebih tiga tahun berakhir 23 Maret 2011 setelah delapan penyidik dari Direktorat Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menangkap Malinda di apartemennya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Tim dari Mabes Polri bergerak setelah mendapat laporan pihak Citibank pada bulan Januari.
Penyidikan kasus ini relatif terhambat lantaran sejauh ini baru tiga nasabah yang berani melapor polisi. Korban pelaku diduga lebih dari jumlah tersebut karena pelaku memiliki ratusan nasabah. Proses penyelidikan juga terbentur aturan perbankan yang merahasiakan identitas serta jumlah dana nasabah dan saat ini penyelidikan masih tertuju pada lalu lintas dari tiga nasabah saja.
   Hubungan antara bank dengan nasabahnya ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain mana pun kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undang yang berlaku. Menurut pasal 1 angka 28 undang-undang perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
   Dalam keterangan saksi di pengadilan terlihat modus yang digunakan Malinda, yakni dengan menyalahgunakan kepercayaan para nasabah kakap terhadap dirinya. Oleh Malinda, nasabah-nasabah kaya dan sibuk itu disodori blanko kosong untuk ditandatangani agar memudahkan transaksi. Namun ternyata Malinda mencuri uang tersebut sedikit-demi sedikit tanpa disadari pemilik rekening melalui persekongkolan jahat dengan bawahannya, Dwi Herawati, Novianty Iriane dan Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank.
   Jaksa Penuntut Umum mendakwa Melinda melakukan penggelapan dan pencucian uang dalam kurun waktu 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011 melalui 117 transaksi, dimana 64 transaksi di antaranya dalam bentuk pecahan rupiah senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi senilai 2,08 juta dolar AS.
·         Bagaimana Malinda beroperasi selama itu?
   Guna meraih kepercayaan nasabah, wanita 47 tahun tersebut terlebih dahulu memperlakukan mereka secara istimewa, misalnya dengan melayani di ruang khusus di kantor Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya dalam waktu singkat, tetapi hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya.
   Dari sini, Malinda secara cermat menelisik pola transaksi nasabah yang bersangkutan, kemudian mengajukan blanko kosong untuk ditanda tangani. Blanko inilah yang dia gunakanan untuk menarik dana dengan memerintahkan Dwi mentransfer uang ke beberapa perusahaan miliknya. Malinda juga menggunakan surat kuasa dari nasabah, sehingga nasabah seolah-olah datang ke bank untuk melakukan transaksi.
   Untuk mengaburkan bukti kejahatan, Malinda membuat perusahaan pribainya yang dialiri dana nasabah Citibank atas nama orang lain. Pada akhirnya, duit inilah yang digunakannya, antara lain untuk menyicil angsuran mobil super mewah seperti Ferrari. Tengok saja kesaksian Rohly Pateni, salah satu nasabah yang menjadi korban Malinda. Dia mengaku sangat percaya kepada Malinda karena sudah 18 tahun menjadi nasabah Citibank dan ditangani Malinda. Dia jarang mengecek rekeningnya karena sibuk bekerja.
   Berdasarkan kesaksian mantan Citigold Executive Head di Citibank Landmark, Reniwati Hamid, Malinda mengalirkan dana nasabah ke empat perusahaan miliknya yaitu, PT Sarwahita Global Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT Qadeera Agilo Resources, dan PT Axcomm Infoteco Centro. Reniwati sendiri menjabat sebagai Direktur Utama di empat perusahaan yang didirikannya bersama Malinda, Roy Sanggilawang, dan Gesang Timora tersebut.
   Dari keempat perusahaan ini, Malinda kembali menarik uang untuk kepentingan pribadinya, Andhika maupun adiknya, Visca Lovitasari serta suami Visca, Ismail bin Janim. Andhika menampung uang curian itu dengan membuka banyak rekening dengan identitas berbeda karena menggunakan KTP palsu. Dia juga diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menerima dan menampung uang yang diduga hasil tindak pidana istri sirinya.
   Andhika didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
   Adapun Visca ditetapkan diadili setelah menampung dana dari Malinda senilai lebih dari Rp8miliar, dalam kurun waktu 24 Januari 2007 sampai tanggal 19 Oktober 2010. Tahap pertama Malinda menyetor sebesar Rp2.063.723.000. Lalu, Malinda mengirim lagi Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya Rp66juta, dan terakhir Rp401.480.000. Jaksa mengatakan, dari tiap transaksi itu, Visca mendapat imbalan sebesar Rp5 juta. Sedangkan suaminya, Ismail yang juga diadili didakwa menampung uang dari Malinda sekira Rp20,4 miliar sejak bulan Januari 2010 hingga Oktober 2010 dalam 51 kali transaksi.
   Sementara itu, jaksa menjerat Malinda dengan pasal berlapis, yaitu pasal dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP.
   Kedua, Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun penjara.
   Fakta lain yang cukup menarik adalah keterlibatan Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb. Dia menjadi Komisaris Utama PT Sarwahita Group Managemen, namun mengaku tak melakukan bisnis dalam perusahaan tersebut. Tidak jelas apakah pengakuan ini benar atau tidak karena tidak pernah ada pemeriksaan terhadap yang bersangkutan.
   Yang juga tak terungkap dari kasus tersebut adalah identitas dan latar belakang nasabah yang ditangani Malinda yang kabarnya mencapai puluhan orang. Sebab, yang melapor ke polisi cuma tiga orang. Semula, banyak pihak berharap seluruh nasabahnya melapor sehingga di sisi lain juga bisa ditelisik apakah ada di antaranya pejabat negara sekaligus mencari tahu darimana sumber uang itu.
   Selain menjerat Malinda, Andhika, Visca, dan Ismail, polisi juga menyeret rekan kerja Malinda yakni Reniwati Hamid, RJ selaku Cash Official Manajer atau atasan teller, dan SW selaku Cash Supervisor Manager. Mereka menyusul Dwi Herawati binti Harno Wijoyo, Novianty Iriane binti Emon, dan Betharia Panjaitan yang lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani persidangan dengan tuduhan turut membantu perbuatan Malinda.
   Kasus ini masih akan berlanjut di tahun 2012 karena semua terdakwa masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belum satu pun dari mereka yang dijatuhi vonis oleh hakim. Proses persidangan bisa saja berlanjut hingga beberapa tahun ke depan jika persidangan berlanjut ke tingkat Mahkamah Agung.
·         Analisa Dari Segi Perbankan
   Kasus ini  tentunya bisa menimbulkan kerugian dan dampak buruk bagi dunia perbankan Indonesia serta Citibank itu sendiri khususnya pada manajemen likuiditasnya. Manajemen likuiditas adalah  Kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup utk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan kpd nasabah serta pengelolaan atas reserve requirement (RR) atau Primary reserve atau Giro wajib minimum sesuai ketentuan BI, dan secondary reserve. Resiko yang dapat timbul apabila gagal dalam manajemen likuiditas adalah resiko pendanaan dan resiko bunga.
   Bisa dikatakan bahwa implikasi negatif dari kasus ini, Jika Citibank tidak bisa atau tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan nasabah sebab penggelapan dana oleh Malinda Dee ini maka Citibank bisa saja dilikuidasi oleh Bank Indonesia serta hilangnya trust atau kepercayan nasabah dan masyarakat kepada Citibank pada khususnya dan perbankan indonesia pada umumnya. Informasi baru, Citibank mengkonfirmasikan ke masyarakat bahwa pihak Citibank menjamin uang nasabah dan aman.
·         Analisa Dari Segi Politik dan Sosial
   Media berpengaruh besar dalam membentuk main set pola pikir masyarakat. Yang terjadi saat ini media dapat dipesan untuk mengabarkan suatu berita dan fokus pada berita tersebut dalam jangka waktu yang sudah ditentukan yang memang sengaja untuk membuat masyarakat lupa dengan kasus besar yang sudah terlanjur menjadi berita besar sebelumnya. Jika kita peka mengamati situasi nasional, maka kasus Malinda dee ini merupakan isu turunan untuk menutupi kasus besar yang pernah terjadi dan diberitakan sebelumnya, sebut saja kasus talangan dana Bank Century dan beberapa kasus lainnya yang memang sedang menyudutkan pemerintah Indonesia sekarang ini.
·         Analisa Dari Segi Hukum
   Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuanuntuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah dari kegiatan yang sah. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang, tindak pidana yang menjadi pemicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyeelundupan barang/tenaga kerja/imigran, Perbankan,  narkotika, psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
   Dengan sudah dikeluarkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas:
Ø  Penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat, deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
Ø  Transfer (layering) yakni upaya untik mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lai. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
Ø  Menggunakan harta kekayaan (integration) yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangna melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
   Pelaku dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU no 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian Uang dan pastinya pelaku dikenakan sanksi berupa denda dan hukuman penjara.


CARA MENGATASI PENYELESAIAN KASUS MELINDA DEE

DUNIA perbankan nasional kembali diguncang oleh kasus pembobolan oleh orang dalam, sebagaimana dilakukan Melinda Dee melalui tempat kerjanya, Citibank Jakarta, dan Farah Anissa Yustisia di Bank Mandiri Cabang RSUP Dokter Kariadi Semarang. Padahal belum lama berselang, publik dikejutkan oleh kasus pembobolan ATM Bank Central Asia (BCA).

Modus membobol Citibank ini sederhana, hanya manipulasi data dan mengalihkan dana nasabah ke rekening tersangka. Tersangka menggunakan trik menyulap blangko investasi kosong yang ditandatangani nasabah untuk pencairan dana. Tingkat kepercayaan tinggi dari nasabah kepada tersangka yang telah bekerja selama 20 tahun di Citibank membuat pelaku dengan mudah mengeruk uang dalam jumlah besar.

Kenyataan ini makin mengiris tipis kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan. Bagaimana tidak, selama ini kita sering dibuai promosi perbankan mengenai kehebatan dan keandalan teknologi. Begitu pula sistem dan standar prosedur yang sudah relatif lebih baik dari sisi keamanannya.

Namun, seiring dengan hal itu kita juga disodori banyaknya kasus penipuan dan pembobolan (fraud) yang dilakukan oleh oknum internal perbankan itu sendiri. Menurut saya, ada tiga hal mendasar yang menyebabkan kasus pembobolan bank di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan.

1.      Rusaknya fungsi hukum sebagai rambu-rambu kejahatan

Selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga kemudian beredar pemeo di kalangan pembobol bank, ”Kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang besar sekalian. Setelah itu cukup keluar beberapa miliar rupiah untuk oknum penegak hukum maka semuanya akan beres.”

2.      Lemahnya sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) mengingat keterbatasan SDM sehingga mereka mengalami kesulitan mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah, meskipun di daerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Dalam hal ini, bank sentral itu mestinya bisa menggunakan instrumen forum bankir di daerah untuk memperbaiki kontrol internal bank.

3.      Lemahnya koordinasi BI pusat dan daerah. Fungsi monitoring BI hanya mengandalkan laporan bank itu. Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi pembobolan, sudah terlambat bagi BI untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang perlu dibenahi, artinya ke depan BI tidak boleh hanya mengandalkan laporan dari bank, namun harus proaktif menggali informasi di luar laporan bank.

Fenomena kasus pembobolan bank di Tanah Air dewasa ini, jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada tindakan konkret preventif untuk menanganinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada dunia perbankan. Padahal perbankan adalah lembaga urat nadi perekonomian.


·         Proses Internal Lemah

Mengapa begitu banyak bank yang dijebol. Salah satu jawabannya adalah karena lemahnya proses internal perbankan. Itu sebabnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, mendesak agar bank bertanggungjawab atas kasus pembobolan. Sebab, “Dalam beberapa kasus terjadi karena kelemahan proses internal perbankan” ujarnya.

                                 
·         Kelemahan internal bank itu antara lain :
Pengawasan dan supervisi atasan tidak optimal. Supervisi yang tidak optimal itu diperparah kolusi antar oknum pegawai bank. Kedua, kebiasaan nasabah yang mudah percaya pada pegawai bank. Kepercayaan itu dimanfaatkan oleh oknum pegawai bank. Karena lemahnya supervisi dan pengawasan, maka bank-bank itu harus diberi peringatan. Jika tidak memperbaiki diri patut diberi sanksi.
Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Difi A Johansyah, menegaskan bahwa sanksi yang dikenakan kepada bank itu berjenjang. Dimulai dari peringatan tertulis. Peringatan itu sekaligus pembinaan untuk memperbaiki mekanisme kontrol internal. Jika hal itu tidak cukup, maka Bank Indonesia akan melakukan fit and proper test ulang terhadap manajemen, khususnya Direktur Kepatuhan.
Bank Indonesia juga akan mendesak sejumlah bank agar memperketat pengawasan internal. Sebab pengawasan yang ketat bisa meminimalisir oknum yang nakal. Manajemen bank memang sejatinya harus menerapkan kontrol yang ketat terhadap setiap transaksi.
Pengawasan super ketat itu, kata Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sofyan Basir, bisa mencegah ulah pegawai bank yang nakal. Hanya saja pengawasan super ketat itu memerlukan biaya yang mahal. Tapi, kata Sofyan, “Dengan biaya lebih ini diharapkan dapat mencegah terjadinya fraud” ujarnya.
Repotnya, lanjut Sofyan, jumlah cabang bank dan jumlah karyawannya banyakk sekali. BRI, misalnya, memiliki 7000 kantor dengan jumlah karyawan 75 ribu orang. “Tidak mungkin semuanya sempurna, termasuk SDM. Namun, kami melakukan pengawasan untuk meminimalkan penyelewengan.”
Sejumlah cara yang dilakukan BRI adalah melakukan audit, sistem kendali, teknologi pengawasan pasif, atau inspeksi saat terjadi perubahan angka pada pos tertentu. Dengan cara ini karyawan selalu hati-hati.

·         3 Cara Pencegahan Pembobolan
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI) :
1.      Memperkuat penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk mewujudkan law enforcement, salah satu prasyarat utamanya adalah membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
2.      Memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk mencegah pembobolan oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin 100%.
3.      Memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.


SUMBER