ANALISA KASUS PENYIMPANGAN KODE ETIK
TUGAS KELOMPOK MINGGU III
NAMA KELOMPOK:
SELVIA SARI (26210437)
VISCA FEBRINA (28210396)
RISKA NUARI (26210035)
NUR SUSILAWATI (29210584)
CITRA DIANA (21210608)
ANALISA KASUS PERBANKAN DI INDONESIA PADA KASUS MALINDA DEE,
MANTAN SENIOR RELATION MANAGER CITIBANK
Inong Malinda dee, mantan senior Relationship Manager Citibank diduga
melakukan tindak pidana pencucian dana nasabah Citibank sebesar lebih dari Rp
16 milyar. Nasabah-nasabah yang ditangani Malinda biasanya adalah nasabah kelas
kakap dengan dana lebih dari Rp 500 juta. Sedangkan bank-bank di Indonesia
masih didominasi bukan oleh nasabah seperti itu. Motif pelaku adalah untuk
memuaskan dan menyenangkan suami keduanya yaitu Andhika Gumilang.
Modus Operasi yang dilakukan pelaku sebagai karyawan bank adalah dengan
sengaja melakukan pengaburan transaksi dan pencatatan tidak benar terhadap beberapa
slip transfer. Slip transfer digunakan untuk menarik dana pada rekening nasabah
dan memindahkan dana milik nasabah tanpa seizin nasabah ke beberapa rekening
yang dikuasai oleh pelaku. Pelaku mengalirkan hasil penggelapan dana nasabah
Citibank ke 30 rekening. Total dana yang digelapkan pelaku diduga mencapai
lebih dari Rp 16 milyar. Dana tersebut dibelanjakan barang mewah berupa mobil
mewahnya seperti Hummer, Mercedes Benz dan Ferrari yang harganya di atas Rp1
miliar. Latar belakang Andhika yang pernah menjadi artis juga turut menarik
perhatian seluruh media infotainment. Dan yang tak kalah menghebohkan adalah
operasi pembesaran payudara yang dilakukan Malinda dibahas media dengan meminta
tanggapan dokter bedah plastik hingga nyaris menenggelamkan substansi kasusnya.
Pembobolan simpanan nasabah kakap oleh Malinda selama kurang
lebih tiga tahun berakhir 23 Maret 2011 setelah delapan penyidik dari
Direktorat Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri
menangkap Malinda di apartemennya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Tim dari
Mabes Polri bergerak setelah mendapat laporan pihak Citibank pada bulan Januari.
Penyidikan kasus ini relatif terhambat lantaran sejauh ini
baru tiga nasabah yang berani melapor polisi. Korban pelaku diduga lebih dari
jumlah tersebut karena pelaku memiliki ratusan nasabah. Proses penyelidikan
juga terbentur aturan perbankan yang merahasiakan identitas serta jumlah dana
nasabah dan saat ini penyelidikan masih tertuju pada lalu lintas dari tiga
nasabah saja.
Hubungan antara bank dengan nasabahnya ternyata tidaklah seperti hubungan
kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi
bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain mana pun
kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undang yang berlaku. Menurut pasal
1 angka 28 undang-undang perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya.
Dalam keterangan saksi di pengadilan terlihat modus yang digunakan Malinda,
yakni dengan menyalahgunakan kepercayaan para nasabah kakap terhadap dirinya. Oleh
Malinda, nasabah-nasabah kaya dan sibuk itu disodori blanko kosong untuk
ditandatangani agar memudahkan transaksi. Namun ternyata Malinda mencuri uang
tersebut sedikit-demi sedikit tanpa disadari pemilik rekening melalui
persekongkolan jahat dengan bawahannya, Dwi Herawati, Novianty Iriane dan
Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Melinda melakukan penggelapan dan pencucian
uang dalam kurun waktu 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011 melalui 117
transaksi, dimana 64 transaksi di antaranya dalam bentuk pecahan rupiah senilai
Rp27,36 miliar dan 53 transaksi senilai 2,08 juta dolar AS.
·
Bagaimana Malinda beroperasi selama
itu?
Guna meraih kepercayaan nasabah, wanita 47 tahun tersebut terlebih dahulu
memperlakukan mereka secara istimewa, misalnya dengan melayani di ruang khusus
di kantor Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya dalam waktu singkat,
tetapi hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya.
Dari sini, Malinda secara cermat menelisik pola transaksi nasabah yang
bersangkutan, kemudian mengajukan blanko kosong untuk ditanda tangani. Blanko
inilah yang dia gunakanan untuk menarik dana dengan memerintahkan Dwi
mentransfer uang ke beberapa perusahaan miliknya. Malinda juga menggunakan
surat kuasa dari nasabah, sehingga nasabah seolah-olah datang ke bank untuk
melakukan transaksi.
Untuk mengaburkan bukti kejahatan, Malinda membuat perusahaan pribainya
yang dialiri dana nasabah Citibank atas nama orang lain. Pada akhirnya, duit
inilah yang digunakannya, antara lain untuk menyicil angsuran mobil super mewah
seperti Ferrari. Tengok saja kesaksian Rohly Pateni, salah satu nasabah yang
menjadi korban Malinda. Dia mengaku sangat percaya kepada Malinda karena sudah
18 tahun menjadi nasabah Citibank dan ditangani Malinda. Dia jarang mengecek
rekeningnya karena sibuk bekerja.
Berdasarkan kesaksian mantan Citigold Executive Head di Citibank
Landmark, Reniwati Hamid, Malinda mengalirkan dana nasabah ke empat perusahaan
miliknya yaitu, PT Sarwahita Global Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT
Qadeera Agilo Resources, dan PT Axcomm Infoteco Centro. Reniwati sendiri
menjabat sebagai Direktur Utama di empat perusahaan yang didirikannya bersama
Malinda, Roy Sanggilawang, dan Gesang Timora tersebut.
Dari keempat perusahaan ini, Malinda kembali menarik uang untuk
kepentingan pribadinya, Andhika maupun adiknya, Visca Lovitasari serta suami
Visca, Ismail bin Janim. Andhika menampung uang curian itu dengan membuka
banyak rekening dengan identitas berbeda karena menggunakan KTP palsu. Dia juga
diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian
uang dengan menerima dan menampung uang yang diduga hasil tindak pidana istri
sirinya.
Andhika didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU Tindak
Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 ayat (1) UU
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat
(1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun
penjara.
Adapun Visca ditetapkan diadili setelah menampung dana dari Malinda
senilai lebih dari Rp8miliar, dalam kurun waktu 24 Januari 2007 sampai tanggal
19 Oktober 2010. Tahap pertama Malinda menyetor sebesar Rp2.063.723.000. Lalu,
Malinda mengirim lagi Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya Rp66juta, dan terakhir
Rp401.480.000. Jaksa mengatakan, dari tiap transaksi itu, Visca mendapat
imbalan sebesar Rp5 juta. Sedangkan suaminya, Ismail yang juga diadili didakwa
menampung uang dari Malinda sekira Rp20,4 miliar sejak bulan Januari 2010
hingga Oktober 2010 dalam 51 kali transaksi.
Sementara itu, jaksa menjerat Malinda dengan pasal berlapis, yaitu pasal
dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Pertama, dia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP.
Kedua, Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang
juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat
1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun penjara.
Fakta lain yang cukup menarik adalah keterlibatan Wakil Gubernur Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas) Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb. Dia
menjadi Komisaris Utama PT Sarwahita Group Managemen, namun mengaku tak
melakukan bisnis dalam perusahaan tersebut. Tidak jelas apakah pengakuan ini
benar atau tidak karena tidak pernah ada pemeriksaan terhadap yang
bersangkutan.
Yang juga tak terungkap dari kasus tersebut adalah identitas dan latar belakang
nasabah yang ditangani Malinda yang kabarnya mencapai puluhan orang. Sebab,
yang melapor ke polisi cuma tiga orang. Semula, banyak pihak berharap seluruh
nasabahnya melapor sehingga di sisi lain juga bisa ditelisik apakah ada di
antaranya pejabat negara sekaligus mencari tahu darimana sumber uang itu.
Selain menjerat Malinda, Andhika, Visca, dan Ismail, polisi juga menyeret
rekan kerja Malinda yakni Reniwati Hamid, RJ selaku Cash Official Manajer atau
atasan teller, dan SW selaku Cash Supervisor Manager. Mereka menyusul Dwi
Herawati binti Harno Wijoyo, Novianty Iriane binti Emon, dan Betharia Panjaitan
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani persidangan
dengan tuduhan turut membantu perbuatan Malinda.
Kasus ini masih akan berlanjut di tahun 2012 karena semua terdakwa masih
menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belum satu pun dari
mereka yang dijatuhi vonis oleh hakim. Proses persidangan bisa saja berlanjut
hingga beberapa tahun ke depan jika persidangan berlanjut ke tingkat Mahkamah
Agung.
·
Analisa
Dari Segi Perbankan
Kasus ini tentunya bisa menimbulkan kerugian dan dampak buruk bagi
dunia perbankan Indonesia serta Citibank itu sendiri khususnya pada manajemen
likuiditasnya. Manajemen likuiditas adalah Kemampuan manajemen bank dalam
menyediakan dana yang cukup utk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang
telah dikeluarkan kpd nasabah serta pengelolaan atas reserve requirement (RR)
atau Primary reserve atau Giro wajib minimum sesuai ketentuan BI, dan secondary
reserve. Resiko yang dapat timbul apabila gagal dalam manajemen likuiditas
adalah resiko pendanaan dan resiko bunga.
Bisa dikatakan bahwa implikasi negatif dari kasus ini, Jika Citibank
tidak bisa atau tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan dana yang cukup
untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan
nasabah sebab penggelapan dana oleh Malinda Dee ini maka Citibank bisa saja
dilikuidasi oleh Bank Indonesia serta hilangnya trust atau kepercayan nasabah
dan masyarakat kepada Citibank pada khususnya dan perbankan indonesia pada
umumnya. Informasi baru, Citibank mengkonfirmasikan ke masyarakat bahwa pihak
Citibank menjamin uang nasabah dan aman.
·
Analisa
Dari Segi Politik dan Sosial
Media berpengaruh besar dalam membentuk main set pola pikir masyarakat.
Yang terjadi saat ini media dapat dipesan untuk mengabarkan suatu berita dan
fokus pada berita tersebut dalam jangka waktu yang sudah ditentukan yang memang
sengaja untuk membuat masyarakat lupa dengan kasus besar yang sudah terlanjur
menjadi berita besar sebelumnya. Jika kita peka mengamati situasi nasional,
maka kasus Malinda dee ini merupakan isu turunan untuk menutupi kasus besar
yang pernah terjadi dan diberitakan sebelumnya, sebut saja kasus talangan dana
Bank Century dan beberapa kasus lainnya yang memang sedang menyudutkan
pemerintah Indonesia sekarang ini.
·
Analisa
Dari Segi Hukum
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuanuntuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan
yang seolah-olah dari kegiatan yang sah. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang, tindak pidana yang
menjadi pemicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan,
penyeelundupan barang/tenaga kerja/imigran, Perbankan, narkotika,
psikotropika, perdagangan budak/wanita/anak/senjata gelap, penculikan, terorisme,
pencurian, penggelapan, dan penipuan.
Dengan sudah dikeluarkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang ini, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas,
antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses
pencucian uang yang terdiri atas:
Ø Penempatan (placement) yakni upaya
menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan
(financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank,
sertifikat, deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama
sistem perbankan.
Ø Transfer (layering) yakni upaya
untik mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money)
yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank)
sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lai.
Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal
usul harta kekayaan tersebut.
Ø Menggunakan harta kekayaan (integration)
yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang
telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangna melalui penempatan atau transfer
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan
bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Pelaku dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No 7 tahun 1992 sebagaimana
diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No 15
tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 sebagaimana diubah
dengan UU no 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian Uang dan pastinya
pelaku dikenakan sanksi berupa denda dan hukuman penjara.
CARA MENGATASI PENYELESAIAN KASUS MELINDA DEE
DUNIA perbankan nasional kembali diguncang oleh kasus pembobolan oleh orang dalam, sebagaimana dilakukan Melinda Dee melalui tempat kerjanya, Citibank Jakarta, dan Farah Anissa Yustisia di Bank Mandiri Cabang RSUP Dokter Kariadi Semarang. Padahal belum lama berselang, publik dikejutkan oleh kasus pembobolan ATM Bank Central Asia (BCA).
Modus membobol Citibank ini sederhana, hanya manipulasi data dan mengalihkan dana nasabah ke rekening tersangka. Tersangka menggunakan trik menyulap blangko investasi kosong yang ditandatangani nasabah untuk pencairan dana. Tingkat kepercayaan tinggi dari nasabah kepada tersangka yang telah bekerja selama 20 tahun di Citibank membuat pelaku dengan mudah mengeruk uang dalam jumlah besar.
Kenyataan ini makin mengiris tipis kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan. Bagaimana tidak, selama ini kita sering dibuai promosi perbankan mengenai kehebatan dan keandalan teknologi. Begitu pula sistem dan standar prosedur yang sudah relatif lebih baik dari sisi keamanannya.
Namun, seiring dengan hal itu kita juga disodori banyaknya kasus penipuan dan pembobolan (fraud) yang dilakukan oleh oknum internal perbankan itu sendiri. Menurut saya, ada tiga hal mendasar yang menyebabkan kasus pembobolan bank di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan.
1. Rusaknya fungsi hukum sebagai rambu-rambu kejahatan
Selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga kemudian beredar pemeo di kalangan pembobol bank, ”Kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang besar sekalian. Setelah itu cukup keluar beberapa miliar rupiah untuk oknum penegak hukum maka semuanya akan beres.”
2. Lemahnya sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) mengingat keterbatasan SDM sehingga mereka mengalami kesulitan mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah, meskipun di daerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Dalam hal ini, bank sentral itu mestinya bisa menggunakan instrumen forum bankir di daerah untuk memperbaiki kontrol internal bank.
3. Lemahnya koordinasi BI pusat dan daerah. Fungsi monitoring BI hanya mengandalkan laporan bank itu. Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi pembobolan, sudah terlambat bagi BI untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang perlu dibenahi, artinya ke depan BI tidak boleh hanya mengandalkan laporan dari bank, namun harus proaktif menggali informasi di luar laporan bank.
Fenomena kasus pembobolan bank di Tanah Air dewasa ini, jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada tindakan konkret preventif untuk menanganinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada dunia perbankan. Padahal perbankan adalah lembaga urat nadi perekonomian.
· Proses Internal Lemah
Mengapa begitu banyak bank yang dijebol. Salah satu jawabannya adalah karena lemahnya proses internal perbankan. Itu sebabnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, mendesak agar bank bertanggungjawab atas kasus pembobolan. Sebab, “Dalam beberapa kasus terjadi karena kelemahan proses internal perbankan” ujarnya.
·
Kelemahan
internal bank itu antara lain :
Pengawasan
dan supervisi atasan tidak optimal. Supervisi yang tidak optimal itu diperparah
kolusi antar oknum pegawai bank. Kedua, kebiasaan nasabah yang mudah percaya
pada pegawai bank. Kepercayaan itu dimanfaatkan oleh oknum pegawai bank. Karena
lemahnya supervisi dan pengawasan, maka bank-bank itu harus diberi peringatan.
Jika tidak memperbaiki diri patut diberi sanksi.
Kepala
Biro Humas Bank Indonesia, Difi A Johansyah, menegaskan bahwa sanksi yang
dikenakan kepada bank itu berjenjang. Dimulai dari peringatan tertulis.
Peringatan itu sekaligus pembinaan untuk memperbaiki mekanisme kontrol
internal. Jika hal itu tidak cukup, maka Bank Indonesia akan melakukan fit and
proper test ulang terhadap manajemen, khususnya Direktur Kepatuhan.
Bank
Indonesia juga akan mendesak sejumlah bank agar memperketat pengawasan
internal. Sebab pengawasan yang ketat bisa meminimalisir oknum yang nakal.
Manajemen bank memang sejatinya harus menerapkan kontrol yang ketat terhadap
setiap transaksi.
Pengawasan
super ketat itu, kata Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sofyan Basir,
bisa mencegah ulah pegawai bank yang nakal. Hanya saja pengawasan super ketat
itu memerlukan biaya yang mahal. Tapi, kata Sofyan, “Dengan biaya lebih ini
diharapkan dapat mencegah terjadinya fraud” ujarnya.
Repotnya,
lanjut Sofyan, jumlah cabang bank dan jumlah karyawannya banyakk sekali. BRI,
misalnya, memiliki 7000 kantor dengan jumlah karyawan 75 ribu orang. “Tidak
mungkin semuanya sempurna, termasuk SDM. Namun, kami melakukan pengawasan untuk
meminimalkan penyelewengan.”
Sejumlah
cara yang dilakukan BRI adalah melakukan audit, sistem kendali, teknologi
pengawasan pasif, atau inspeksi saat terjadi perubahan angka pada pos tertentu.
Dengan cara ini karyawan selalu hati-hati.
·
3
Cara Pencegahan Pembobolan
Untuk
mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga hal
yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI) :
1. Memperkuat
penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk mewujudkan law enforcement,
salah satu prasyarat utamanya adalah membersihkan aparat penegak hukum. Jika
jaksa, polisi, ataupun hakim masih kotor, maka penegakan hukum sulit
diwujudkan.
2. Memperbaiki
dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini harus
terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank
untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk mencegah pembobolan
oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin 100%.
3. Memperketat
proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima benar-benar yang
mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun
lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi
pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi guna menjaga keberlangsungan
bisnis perbankan mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan nasabah dan dunia
usaha.
SUMBER