NAMA ANGGOTA KELOMPOK :
- RISKA NUARI
- VISCA FEBRINA (28210396)
- CITRA DIANA (21210608)
- NUR SUSILAWATI (29210584)
- SELVIA SARI
Kelas :
4 EB 23
TUGAS SOFTSKILL AKUNTANSI
INTERNASIONAL#
ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA
Artikel ke-1
Cina merupakan
salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan bersama dengan dua negara Asia
Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah menjadi mitra dagang
terpenting Indonesia dan juga ASEAN dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan
hubungan perdagangan dengan Cina, ASEAN, di mana Indonesia menjadi salah satu
anggota-telah menyepakati kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Dalam kerangka perjanjian tersebut,
negara-negara yang menjadi anggota perjanjian saling memberikan preferential
treatment di tiga sektor: sektor barang, jasa dan investasi dengan tujuan
memacu percepatan aliran barang, jasa dan investasi diantara negara-negara
anggota sehingga dapat terbentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Preferential
treatment adalah perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan
perlakuan yang diberikan kepada negara mitra dagang lain non anggota pada
umumnya. Dalam kesepakatan di sektor barang, komponen utamanya adalah
preferential tarif.
Proses menuju
kesepakatan perjanjian ACFTA diawali dengan dilakukannya pertemuan tingkat
kepala negara antara negara-negara ASEAN dan Cina di Bandar Seri Begawan,
Brunei pada tanggal 6 Nopember 2001 yang kemudian disahkan melalui
penandatanganan “Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi
Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat Cina” di
Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Perjanjian di sektor barang
menjadi bentuk konkrit kerjasama ekonomi pertama di pihak ASEAN dan Cina, yang
ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan Trade in Goods Agreement dan
Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di
Vientiane, Laos.
Data statistik
perdagangan (IMF, 2012) menunjukkan bahwa Indonesia selaku negara anggota ASEAN
dengan populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan perdagangan yang erat
dengan Cina, terlebih setelah berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China
FTA. Cina merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia setelah ASEAN.
Total nilai perdagangan Indonesia dan Cina mencapai US$ 36,2 miliar (2010) dan
jumlah tersebut merupakan 12,4% dari total perdagangan Indonesia. Sementara
itu, nilai perdagangan antara kedua negara selama periode 2006-2010 mencatat
pertumbuhan positif rata-rata sebesar 30%.
Ekspor Indonesia
ke Cina mencapai US$ 15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia dari Cina mencapai
US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki Cina sebesar
kurang lebih US$ 5 miliar. Angka defisit tersebut meningkat sebesar US$ 2,9
miliar dibandingkan defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar,
sehingga menimbulkan kepanikan banyak pihak di Indonesia yang kemudian
menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk melakukan renegosiasi dengan Cina.
Untuk
mengevaluasi dampak ACFTA, perlu dilakukan evaluasi atau impact assessment terhadap
perjanjian perdagangan barang ACFTA mengingat implementasinya telah berjalan
lebih dari lima tahun (Kompas, 2011). Penilaian dampak suatu FTA perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan suatu FTA dapat dipenuhi (Plummer,
Cheong dan Hamanaka, 2010).
Salah satu
indikator penting untuk menilai dampak suatu FTA adalah pendapatan nasional.
Pendapatan nasional merupakan salah satu dari tiga indikator untuk menghitung
dampak dari suatu FTA terhadap suatu negara dari aktivitasnya dalam perdagangan
internasional (Llyoid dan Mclaren, 2004: 451). Sementara itu, salah satu
komponen pendapatan nasional dalam model Keynesian empat sektor adalah
kontribusi ekspor. Perubahan kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional
Indonesia dan Cina dalam konteks berlaku efektifnya perjanjian perdagangan
barang ACFTA dapat mengindikasikan dampak dari ACFTA terhadap kedua negara.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengukur dan menganalisis pengaruh atau dampak dari
keikutsertaan Indonesia dan Cina dalam perjanjian perdagangan barang
ASEAN-China FTA (ACFTA) dari sisi kontribusi ekspor dan peningkatan
pertumbuhannya. Indikator dampak secara makro tersebut menjadi penting,
mengingat kontribusi ekspor akan berdampak terhadap kesejahteraan ekonomi suatu
negara. Pendekatan kuantitatif dengan ekonometrika digunakan untuk mengukur
nilai dari dampak dari suatu FTA.
Artikel ke-2
A. PENDAHULUAN
ASEAN-China Free Trade
Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN dengan
China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau
mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif,
peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus
peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para
Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.
B. LANDASAN HUKUM
Dalam membentuk ACFTA,
para Kepala Negara Anggota ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN - China
Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Sri
Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para
Kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom
Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan Framework
Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia.
Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8
Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement
ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni
2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan
sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement
Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos.
Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu,
Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi ASEAN China
ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal
15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. Peraturan Nasional terkait ACFTA
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between the Associaton of Southeast Asean Antions and the
People’s Republic of China.
·
Keputusan Menteri Keuangan Republi Indonesia Nomor
355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas
Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area.
·
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free
Trade Area.
·
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam
rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
·
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari
2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track
ASEAN-China Free Trade Area.
·
Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
·
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
C. TUJUAN ASEAN-CHINA FTA
- Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
- Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
- Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
- Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
D. PELUANG
- Meningkatnya akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produk-produk nasional.
- Meningkatkanya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”.
- Meningkatnya akses pasar jasa di China bagi penyedia jasa nasional
- Meningkatnya arus investasi asing asal China ke Indonesia
- Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
E. MANFAAT
·
Terbukanya akses pasar produk pertanian (Chapter 01
s/d 08 menjadi 0%) Indonesia ke China pada tahun 2004.
·
Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China
pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal Track (± 1880 pos
tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%.
·
Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China
pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20% dari Normal Track (± 940 pos
tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%.
·
Pada tahun
2010, Indonesia akan memperoleh tambahan akses pasar ekspor ke China sebagai
akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal Track China.
·
Sampai dengan
tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari
total 7.156 pos tarif yang berada di Normal Track ), dan 100% padatahun 2012.
F. TANTANGAN
·
Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan
efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China.
·
Menciptakan
iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.
·
Menerapkan
ketentuan dan peraturan investasi yang transpara, efisien dan ramah dunia
usaha.
·
Meningkatkan
kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi
pemasaran dan lobby.
G. PERSETUJUAN PERDAGANGAN
BARANG
Dalam ACFTA disepakati
akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN 6 dan China,
serta tahun 2015 untuk serta Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar. Penurunan
Tarif dalam kerangka kerjasama ACFTA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu:
- Early Harvest Program (EHP)
- Produk-produk dalam EHP antara lain:
Chapter 01
s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan
buah-buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang
Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA). Kesepakatan
Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat, Barang
dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004
Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP
Bilateral Indonesia-China FTA.
- Penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0% pada 1 Januari 2006.
- Normal Track
- Threshold :
40% at 0-5%
in 2005
100% at 0%
in 2010 (Tariff on some products, no more than 150 tariff lines will be
eliminated by 2012)
- Jumlah NT II Indonesia adalah sebesar 263 pos tarif (6 digit)
- Legal enactment NT untuk tahun 2009 s.d 2012 telah ditetapkan melalui SK. MEN-KEU No. 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA.
- Sensitive Track
·
Sensitive List (SL) :
a)
Tahun 2012 = 20%
b)
Pengurangan menjadi 0-5% pada tahun 2018.
c)
Produk sebesar 304 Produk (HS 6 digit) antara lain
Barang Jadi Kulit : tas, dompet; Alas kaki : Sepatu sport, Casual, Kulit;
Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat
Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa
Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik
·
Highly Sensitive List (HSL)
a)
Tahun 2015 = 50%
b)
Produk HSL adalah sebesar 47 Produk (HS 6 digit),
yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan
Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif;
Produk Ceramic Tableware.
H. KETENTUAN ASAL BARANG
Rules of Origin
didefinisikan sebagai kriteria yang digunakan untuk menentukan status asal
barang dalam perdagangan internasional. Dalam konteks ACFTA, mereka menjamin
bahwa hanya produk-produk yang memenuhi persyaratan Rules of Origin dibawah
ACFTA yang dapat memperoleh kelonggaran tarif. ASEAN dan China telah sepakat
terhadap kriteria kandungan materi barang yang termasuk dalam ROO yaitu jika
seluruhnya mengandung materi dari suatu Negara anggota atau paling sedikit 40%
kandungan materi berasal dari negara anggota. Para negara anggota ACFTA saat
ini sedang menegosiasikan kemungkinan peraturan produk spesifik lainnya seperti
adopsi proses CEPT tekstil terhadap ROO ACFTA
I. PENYELESAIAN SENGKETA
Perselisihan atau sengketa
dagang antar pelaku usaha dalam ACFTA dapat diselesaikan melalui perjanjian
Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA. Perjanjian ini bertujuan untuk
memberikan kepastian dalam penyelesaiaan sengketa dagang dengan prinsip
kesamaan (equitable), cepat, dan efektif. Persetujuan DSM ini ditandatangani
oleh para Menteri Ekonomi ASEAN dan China dalam pertemuan ke-10 KTT ASEAN pada bulan
Nopember 2004 di Laos.
J. PERSETUJUAN PERDAGANGAN
JASA
Persetujuan Jasa ACFTA
telah berlaku efektif sejak Juli 2007. Dengan adanya Persetujuan ini para
penyedia jasa dikedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar
jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsector yang dikomitmenkan
oleh masing-masing Pihak ACFTA. Paket Pertama Persetujuan Jasa ACFTA mencakup
kurang lebih 60 subsektor tambahan dari komitmen para Pihak di GATS/WTO. Dari
sudut pandang tingkat ambisi liberalisasi, Paket Pertama tersebut mencerminkan
tingkat komitmen yang cukup tinggi dari seluruh 4 moda penyediaan jasa baik
cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan movement of
natural persons. Disamping memberikan manfaat dari meningkatnya arus
perdagangan jasa antara kedua wilayah, Persetujuan Jasa diharapkan akan
mendorong peningkatan investasi khususnya pada sektor-sektor yang telah dikomitmenkan
oleh para Pihak seperti:
(a) business services such
as computer related services, real estate services, market research, management
consulting; (b) construction and engineering related services; (c) tourism and
travel related services; (d) transport services; educational services; (e)
telecommunication services; (f) health-related and social services; (g)
recreational, cultural and sporting services; (h) environmental services; dan
(i) energy services.
K. PERSETUJUAN INVESTASI
Melalui Persetujuan
Investasi tersebut, pemerintah Negara-negara Anggota ASEAN dan China secara
kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitasi, transparansi dan rezim
investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang positif,
disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama
bidang investasi. Disamping itu kedua pihak juga secara bersama-sama akan
memperbaiki aturan investasi menjadi lebih transparan dan kondusif demi
peningkatan arus investasi. Selain itu hal terpenting lainnya adalah ASEAN dan
China sepakat untuk saling memberikan perlindungan investasi. Kegiatan
sosialisasi ini akan memaparkan kebijakan, peraturan, ketentuan, dan prosedur
investasi. Satu hal lagi yang sangat penting, kedua pihak sepakat mendirikan one
stop centre untuk memberikan jasa konsultasi bagi sektor bisnis termasuk
fasilitasi pengajuan perijinan Dari sudut pandang investor, Persetujuan
Investasi ASEAN – China memberikan berbagai manfaat nyata seperti: (i) jaminan
perlakuan yang sama untuk penanam modal asal China ataupun ASEAN antara lain
dalam hal manajemen, operasi, likuidasi; (ii) pedoman yang jelas mengenai
ekspropriasi, kompensasi kerugian dan transfer serta repatriasi keuntungan;
(iii) kesetaraan untuk perlindungan investasi dalam hal prosedur hukum dan
administratif. Apabila terjadi sengketa yang muncul antar investor dan salah satu
pihak, persetujuan ini memberikan mekanisme penyelesaian yang spesifik disamping
adanya kesepakatan semua pihak untuk terus berupaya menjamin perlakuan yang
sama atau non-diskriminatif.
L. KERJASAMA EKONOMI
Didalam Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s
Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih
intensif dibeberapa bidang seperti : Pertanian; Teknologi Informasi;
Pengembangan SDM; Investasi; Pengembangan Sungai Mekong; Perbankan; Keuangan;
Transportasi; Industri; Telekomunikasi; Pertambangan; Energi; Perikanan; Kehutanan;
Produk-Produk Hutan dan sebagainya. Pemerintah China telah mengalokasikan dana
sebesar USD 10 miliar dibawah China ASEAN Investment Cooperation Fund untuk
membiayai proyek-proyek kerjasama investasi utama seperti infrastruktur, energi
dan sumberdaya, teknologi komunikasi dan informasi dan bidang-bidang lainnya
sekaligus menyediakan fasilitas kredit sebesar USD 15 juta untuk mendukung
proses integrasi ASEAN dan kerjasama ekonomi dibawah ACFTA untuk lima tahun
kedepan.
Pebruari 2010
Direktorat Kerjasama
Regional
Ditjen Kerjasama
Perdagangan Internasional
Kesimpulan
AFTA ASEAN-China adalah bentuk dari Free Trade Area
di kawasan Asia Tenggara dan China merupakan kerjasama regional dalam bidang
ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di antara negara
anggota melalui penurunan tarif beberapa komoditas tertentu, termasuk di
dalamnya beberapa komoditas pertanian, dengan tarif mendekati 0-5 persen. Inti
AFTA ASEAN-China adalah CEPT (Common Effective Preferential Tariff), yakni
barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN dan China yang memenuhi
ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Indonesia sebagai Negara yang menyetujui AFTA
ASEAN-China, yang sudah masuk ke dalam era perdagangan bebas, sehingga bangsa
ini bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN lainnya dan juga China. Dengan kondisi
bangsa Indonesia dan perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat dikatakan
masih belum siap dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya manusia
Indonesia dengan masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
keahlian yang minim membuat Indonesia diprediksikan akan kalah dalam
persaingan. Situasi politik dan hukum di Indonesia yang amat sangat tidak pasti
juga menambah jumlah nilai minus Indonesia dalam menghadapi AFTA ASEAN-China.
Seperti; banyaknya industri yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing yang
menyebabkan phk dan pengangguran berdampak pada pendapatan perkapita masyarakat
dan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Walaupun terdapat dampak negatif dari AFTA
ASEAN-China. Indonesia juga diuntungkan dengan melakukan free export ke
negara-negara ASEAN dan China, Seperti; minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat
listrik, gas alam, sepatu, dan garmen. Selain itu juga, kita bisa meningkatkan
investasi lokal yang secara tidak langsung dapat meningkatkan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran dengan berdirinya produk-produk baru.
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai perdagangan bebas
ASEAN-China tersebut dapat disimpulkan bahwa :
- Perdagangan bebas antara ASEAN-China lebih banyak memberikan dampak negative bagi perekonomian Indonesia, Dan ini secara langsung berdampak pada para pelaku usaha.
- Membanjirnya produk dari China dengan harga yang terjangkau dan tentu kualitasnya tidak berbeda dengan produk local, maka masyarakat kita lebih memilih produk impor dari china daripada produk local, hal ini meresahkan para pelaku usaha industri kecil menengah (IKM) karena dikhawatirkan produknya tidak laku di negara sendiri.
- Melihat kondisi pendapatan masyarakat, tentu merupakan kegembiraan tersendiri dengan adanya produk murah asal China. Masyarakat dengan mudah bisa membeli barang-barang murah sesuai kemampuan kantong masyarakat ketimbang produk buatan dalam negeri yang relatif lebih mahal.
- Kebijakan CAFTA perlu dikaji ulang oleh pemerintah supaya dampaknya tidak mengancam keselamatan industri dalam negeri.
- Kebijakan tersebut perlu diarahkan pada perbaikan ekonomi rakyat, guna menciptakan masyarakat makmur dan sejahtera, sehingga perdagangan bebas ASEAN-China juga dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha dan perekonomian Indonesia.
- terbukanya semua pintu pelabuhan di Indonesia membuat produk impor khususnya dari china gampang beredar luas ke pasar local.
Sumber :