Selasa, 12 April 2011

Tugas perekonomian indonesia minggu ke 5/6


Nama :: Visca Febrina
Kelas  :: 1 EB 18
NPM   :: 282. 10. 396
Tugas perekonomian Indonesia minggu ke5/6

DATA KEMISKINAN BULAN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA

*      Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen), turun 1,51 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang sebesar 32,53 juta (14,15 persen).
*      Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta (dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang (dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010).
*      Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada Maret 2009, 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 64,23 persen.
*      Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2010, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,5 persen, sedangkan pada Maret 2009 sebesar 73,6 persen.
*      Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, gula pasir, telur ayam ras, mie instan, tempe, bawang merah, kopi, dan tahu. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, listrik, angkutan, dan pendidikan.
*      Pada periode Maret 2009-Maret 2010, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
Pendapatan per Kapita 2010

Perekonomian Indonesia memang sedang naik daun. Ketika dunia dilanda krisis, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh positif, bahkan hingga 4,5 persen pada 2009.

Padahal, tahun itu banyak negara mengalami kemerosotan dalam perekonomian. Di Indonesia, jumlah penduduk yang besar tidak lagi dilihat sebagai ”hantu” perekonomian, tetapi sebagai pasar yang besar dan menarik.

Orang asing berdatangan ke Indonesia untuk menanam modal dan menjual barang dan jasa ke Indonesia. Lebih menggembirakan lagi, tahun ini pendapatan per kapita orang Indonesia diperkirakan mencapai USD3.000. Seorang teman mengatakan,pencapaian angka ini sangat penting. Dia mengatakan, Presiden China pernah menargetkan pencapaian pendapatan per kapita sebesar USD3.000 pada 2020.

China ternyata telah mencapainya pada 2008-2009. Teman ini juga mengatakan, perekonomian Korea Selatan tumbuh dengan amat cepat, 11 persen per tahun setelah mencapai pendapatan per kapita sebesar USD3.000. Dengan kata lain, Indonesia akan segera memasuki era pertumbuhan ekonomi yang makin cepat.

Teman ini tampaknya lupa bahwa Pemerintah Indonesia ingin mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu penting. Harus dilihat apa yang menyebabkan pertumbuhan tersebut.

Apakah pertumbuhan yang tinggi itu disertai berbagai hal negatif seperti perusakan lingkungan, penurunan kesehatan penduduk, polusi udara, dan kemacetan di jalan raya yang menurunkan produktivitas penduduk?

Selain pertanyaan konseptual berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi, dia juga lupa bagaimana pendapatan per kapita tersebut dihitung. Dia menggunakan konsep yang disebut dengan ”pendapatan nominal”, dan bukan ”pendapatan nyata”.

Pendapatan nyata memperlihatkan perubahan dalam daya beli,sedangkan pendapatan nominal mencakup perubahan daya beli dan perubahan harga. Sebuah contoh: setelah lima tahun bekerja, gaji Amin meningkat dari Rp5 juta menjadi Rp6 juta.

Amin tampak senang kenaikan Rp1 juta ini, tapi sesungguhnya daya belinya menurun. Dengan asumsi inflasi hanya lima persen per tahun, gaji Amin seharusnya naik menjadi kira-kira Rp6,5 juta agar daya belinya tidak berubah.

Kenaikan gaji Rp1 juta itu sesungguhnya tidak mencukupi untuk mengimbangi kenaikan harga. Amin mengalami peningkatan pendapatan nominal, tetapi pendapatan nyata dia yakni daya beli telah menurun.

Kalau inflasi lebih tinggi dari lima persen per tahun, daya beli Amin akan turun lebih banyak. Di Indonesia, inflasi lima persen sudah dianggap rendah. Maka, tiap tahun pendapatan Amin harus naik lebih tinggi dari lima persen agar daya belinya meningkat.

Bagaimana dengan pendapatan per kapita USD3.000? Teman tadi memperlihatkan betapa hebatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2004-2010. Pendapatan per kapita naik secara cemerlang dari USD1.196 pada 2004 menjadi USD3.000 pada 2010.

Pendapatan per kapita naik menjadi hampir tiga kali lipat selama enam tahun! Angka pertumbuhan pendapatan per kapita mencapai 15,3 persen per tahun selama periode enam tahun ini. Luar biasa!

Namun, perlu diingat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1998 tak pernah lebih tinggi daripada 6,5 persen per tahun. Lalu, dari mana datang angka 15,3 persen itu? Kesan cemerlang tadi diperoleh dengan menggunakan konsep pendapatan nominal untuk membandingkan pendapatan per kapita.

Dengan kata lain, perbandingan pendapatan per kapita selama 2004-2010 itu belum tentu mencerminkan perubahan dalam daya beli masyarakat. Sebagian dari perubahan pendapatan selama enam tahun itu karena kenaikan harga.

Mari kita lihat data Badan Pusat Statistik (BPS). Karena data 2010 belum selesai, saya hanya memakai data 2009 untuk menghindar data proyeksi. Bila menggunakan pendapatan nominal, pendapatan per kapita di Indonesia naik menjadi USD2.696 pada 2009, lebih dari dua kali lipat USD1.179 pada 2004.

Data dengan pendapatan nominal dari BPS ini pun memberikan kesan yang luar biasa pada peningkatan pendapatan per kapita Indonesia. Namun, BPS juga memberikan data pendapatan nasional nyata yang memungkinkan kita melihat perubahan daya beli.

BPS menggunakan tingkat harga pada 2000 untuk membandingkan daya beli di 2004 dan 2009. Diukur dengan tingkat harga 2000, pendapatan per kapita Indonesia sebesar USD851 pada 2004 yang kemudian naik hanya menjadi USD1.045 pada 2009.

Kenaikan yang hanya 22 persen selama lima tahun jauh lebih kecil dari yang diperlihatkan dengan statistik pendapatan nominal. Artinya kenaikan yang luar biasa dari pendapatan per kapita yang diperlihatkan teman tersebut sebagian besar karena kenaikan harga yang cepat.

Dengan kata lain, pendapatan per kapita naik dengan cepat, tetapi disertai kenaikan biaya hidup yang cepat pula. Memang perhitungan dengan menggunakan konsep pendapatan nominal dapat memberi gambaran yang salah karena mencakup perubahan harga dan tidak mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat.

Kalau kita menggunakan konsep pendapatan nominal, kita dapat dengan ”mudah” menggandakan pendapatan per kapita kita menjadi USD6.000 pada 2014. Caranya? Pendapatan per kapita harus tumbuh 17,5 persen per tahun selama 2010-2014. Asumsikan pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Maka, pertumbuhan pendapatan secara nominal harus tumbuh kira-kira 19 persen per tahun.

Kalau selama empat tahun ke depan pendapatan tumbuh rata-rata tujuh persen per tahun, inflasi harus mencapai rata-rata minimal 12 persen. Untuk menggandakan pendapatan per kapita pada 2014, kita harus bersiap menghadapi inflasi yang luar biasa yakni 12 persen per tahun.

Artinya, tiap tahun hingga 2014 harga akan naik 12 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari tujuh persen, inflasi harus lebih tinggi lagi.

Maukah kita menggandakan pendapatan nasional per kapita kita dengan peningkatan biaya hidup yang cepat? Tentu saja tidak. Ini hanya contoh dramatis dari kelemahan menggunakan konsep pendapatan nominal untuk memperlihatkan kemajuan perekonomian Indonesia.

Kita dapat memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi pendapatan yang tinggi ini dapat pula disertai biaya hidup yang makin tinggi. Selama 2004-2009, daya beli masyarakat memang mengalami kemajuan, tetapi tidak sedramatis yang diperlihatkan dengan statistik pendapatan nominal. Semoga kita lebih arif dalam membaca statistik ekonomi.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar